Baca
puisi menjadi ikhtiar menghadirkan puisi ke haribaan publik dengan jalan
pelisanan. Berbagai event kesusasteraan atau kesenian kerap memberi ruang dan
peluang bagi perayaan baca puisi, di samping festivalfestival baca puisi yang
di gelar institusi-institusi kebudayaan.
Dinamika baca puisi kini pun mengalami rupa-rupa bentuk seperti deklamasi, musikalisasi puisi, penembangan puisi (poetry singing),atau pembacaan puisi (poetry reading). Sebagian kalangan menggelar baca puisi sebagai kerja apresiasi sastra.Kalangan lain menerima baca puisi sebagai bentuk seni otonom atau pentas tersendiri. Baca puisi menghadirkan suatu estetika kebunyian yang dipadu unsur teatrikal yang tidak teraba secara nyata dalam teks puisi.
Laju
bahasa dalam teks puisi dimutasikan menjadi objek bunyi konkret yang sarat
imbangan intonasi, aksentuasi, ritme, irama, jeda, ornamen musikal, unsur
teatrikal, dan sebagainya. Peristiwa baca puisi menghadirkan keserentakan teks
puisi dengan gerak tubuh yang menandakan keseluruhan penghayatan si pembaca
atas karya yang dibacakannya.
Lapis-lapis puisi yang ditubuhkan penyair di dalam jaringan diksi (teks) puisi harus ditemukan dan dinyawakan oleh aktor atau pembaca puisi.Kerja ini meniatkan agar lapis-lapis nilai puitik itu menjadi “makhluk” hidup audiovisual yang dapat dicerapkan dengan jernih dan rancak bersehayat dengan penonton atau pendengar.
Budaya
Akar
Baca
puisi ditengarai sebagai budaya akar pentas sastra Nusantara yang berkembang
secara oral. Keberhasilan WS Rendra, pada dekade awal 1970-an, mengangkat
keajekan seni deklamasi puisi menjadi pementasan yang sangat memperhitungkan
unsur acting,set panggung,dan lighting, mengabarkan kebangkitan tradisi akar
sastra Nusantara yang berciri pada pelakonan.
Yakni tradisi sastra yang bukan membaca teks (untuk) seorang diri, melainkan melisankannya di hadapan publik penonton atau pendengar. Kebangkitan pelisanan-pementasan puisi pada dekade 1970- an juga dapat ditilik dari geliat pembacaan puisi oleh para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, dan Linus Suryadi AG yang mendekatkan teks puisi kepada khalayak secara oral— yang ditubuhkan bersama elemen musikal dan teatrikal (Toda,2005: 93-95).
Daya
pikat baca puisi menjadi alternatif strategis dalam rangka “memasarkan”puisi
(lebih luasnya sastra) kepada publik. Sastra,yang dalam debatan klasik
diklaim kurang membumi di masyarakat, melalui baca puisi coba didekatkan
seintim mungkin dengan masyarakat agar menjadi bagian hidup— selain memenuhi
kebutuhan kesenian,tak jarang puisi diangankan mampu menginspirasi proses
transformasi atau perubahan sosial.
Pembacaan
puisi di ruang-ruang publik atau sanggar-sanggar kesenian bisa dikatakan
sebagai “gerakan” pemanggungan-pelisanan yang berjalan mengiringi gairah
penerbitanbukusastra( puisi,kumpulan cerpen,roman,novel),dan menyemarakkan
pelbagai perhelatan kesusasteraan. Launching atau bedah buku
sastra,misalnya,kerap menyertakan agenda pembacaan atau musikalisasi
puisi.Komunitaskomunitas yang bertumbuh kembangdipelbagaidaerahpun semakin
meningkatkan intensitas baca puisi.
Dilema
Keberaksaraan
Sapardi
Djoko Damono dalam esainya,“Kelisanan dalam Keberaksaraan: Kasus Puisi
Indonesia Mutakhir”, memandang kecenderungan pembacaan puisi sebagai bukti
masyarakat ingin kembali ke kultur kelisanan atau bahkan menyiratkan bahwa
kita belum pernah sepenuhnya masuk ke dalam tradisi keberaksaraan.
Sekaligus
menimbulkan kecurigaan, proses kreatif penyair di Indonesia masih belum
beranjak jauh dari tradisi lisan. Esai tersebut mengingatkan, pelisanan rawan
menyeret puisi ke lingkaran konvensi yang lazim, menjebak puisi pada
keumuman. Khalayak pendengar pelisanan puisi adalah orang yang hidup dalam
tradisi urban dan industri.Masyarakat macam itu,menyitir penyair Inggris W B
Yeats, digambarkan sebagai masyarakat “tanpa kenangan keindahan dan kehalusan
emosional”.
MUSYAFAK
Pengkaji Budaya dan Sastra di Open Mind Community, Semarang, berpendapat penyair
tidak merasa perlu menawarkan kualitas artistik yang kompleks seperti lazim
dipautkan dalam puisi. Justru penyair mengatur idenya sejalan dengan harapan
pendengarnya.
|
Sabtu, 07 Januari 2012
Dilema Literasi dalam Baca Puisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar